Dalam kesempatan obrolan dengan orang yang lebih
tua, sering kita jumpai kalimat, “Halah, saya ini sudah tua, sudah nggak paham
kalau disuruh belajar”. Sehingga, banyak yang mengira bahwa orang dewasa sudah
tidak potensial lagi untuk belajar, tapi kenyataannya tidaklah demikian. Orang
dewasa masih berpotensi, tergantung pada metode yang diterapkan dalam belajar
dan mengajar si orang dewasa tersebut.
Dalam kesempatan lain, mungkin pernah juga kita
jumpai kalimat, “Halah, kamu ini masih kecil, tahu apa? Saya lebih paham”.
Orang dewasa umumnya telah memiliki kematangan konsep dan berpengalaman
(termasuk pengalaman berbuat salah). Secara psikologis, memiliki kecenderungan
ingin dipandang, dihargai dan diperlakukan sebagai pribadi yang independen
telah mampu melaksanakan konsepnya itu. Orang dewasa merasa telah memiliki
jatidiri dan telah menjadi “dirinya”. Karenanya, akan sulit bagi kita untuk
merobohkan konsepnya yang telah tertanam bertahun-tahun, bila tidak disertai
bukti dan cara pemberian pemahaman yang tepat atas konsepnya itu.
Dua paragraf di atas adalah contoh, sebagai
dasar munculnya konsep mendidik orang dewasa yang dikenal dengan Andragogi,
yaitu proses untuk melibatkan peserta didik dewasa ke dalam suatu struktur
pengalaman belajar. Semula cara mendidik orang dewasa disamakan dengan cara
mendidik anak-anak di bangku pendidikan formal (pedagogi). Akan tetapi,
terdapat perbedaan penting antara orang dewasa dan anak-anak, sehingga
andragogi terpisah menjadi ilmu sendiri. Istilah andragogi ini awalnya
digunakan oleh Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, di tahun 1833, dan
kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik
Amerika Serikat, Malcolm Knowles (24 April 1913 -- 27 November 1997).
Dalam andragogi, mendidik bukan berarti
menggurui, bukan mengisi mereka dengan pengetahuan tapi sebagai bentuk
kerjasama saling meningkatkan pengetahuan, dan menempatkan orang dewasa sebagai
subjek bukan objek. Andragogi mempelajari sifat fisik, psikis dan karakter
orang dewasa.
Teori Knowles tentang andragogi dapat diungkapkan dalam empat postulat
sederhana:
1. Orang dewasa perlu dilibatkan dalam perencanaan dan evaluasi dari pembelajaran yang mereka ikuti (berkaitan dengan konsep diri dan motivasi untuk belajar).
2. Pengalaman (termasuk pengalaman berbuat salah) menjadi dasar untuk
aktivitas belajar (konsep pengalaman).
3. Orang dewasa paling berminat pada pokok bahasan belajar yang mempunyai
relevansi langsung dengan pekerjaannya atau kehidupan pribadinya (Kesiapan
untuk belajar).
4. Belajar bagi orang dewasa lebih berpusat pada permasalahan dibanding
pada isinya (Orientasi belajar).
Secara filosofis, Konfusius mengemukakan tiga
hal penting terkait dengan fisik dan psikis manusia, antara lain : “saya dengar
dan saya lupa, saya lihat dan saya ingat, saya lakukan dan saya mengerti”.
Artinya, mejadikan orang dewasa terlibat langsung secara fisik dan emosional
akan memudahkan tersampaikannya pesan yang kita maksud.
Meskipun variatif dan cara mengekspresikan
emosinya berbeda-beda, kelemahan orang dewasa adalah mudah tersinggung. Sangat
penting untuk menjadikan orang dewasa jangan tersinggung dengan menghindari
perilaku merendahkan, mengecewakan dan mempermalukan. Orang dewasa justru akan
senang bila dimotivasi dan dibuat senang. Sikap menghargai ini, akan memudahkan
masuknya pesan yang ingin disampaikan.
Orang dewasa tidak menyukai hal-hal teoritis dan
cenderung menyukai sesuatu yang praktis sesuai peran sosialnya (pekerjaan,
tanggung jawab, kebutuhan). Andragogi biasanya dimanfaatkan oleh profesi yang
bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti penyuluh, fasilitator,
motivator, politikus dan profesi lain.
Barangkali secara personal kita pernah gagal
mempengaruhi orang dewasa atau yang lebih dewasa dari usia kita, agar orang
tersebut mau melakukan sesuatu. Kemungkinan jawabannya adalah kita belum
memahami kondisi fisik, psikis dan karakter orang dewasa. Setelah memahami
orang dewasa, penting juga bagi kita untuk belajar berinteraksi sesuai yang
dikemukakan oleh James Borg dalam kutipan bukunya yang berjudul Buku Pintar
Memahami Bahasa Tubuh, bahwa “bukan tentang apa yang anda katakan, tetapi bagaimana
cara mengatakannya”.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar